Thursday, July 31, 2014

BAGIAN KEDUA: BAB 1 Catatan Sang Pemberontak



28 Januari 2003
Akhirnya sampai juga di Amerika. Ini hari pertama aku menulis catatan harian ini. Kejadian-kejadian yang ku lewati sampai hari ini membuatku semakin teguh dalam keputusanku untuk melakukan perlawanan.

Satu bulan sebelum ini, aku bahkan tidak yakin akan mampu bertahan hidup. Tapi memang nasib manusia berada di tangan Tuhan. Pistol sudah diletakkan diujung keningku. Aku seperti sudah melihat malaikat maut dihadapanku. Tetapi ajalku memang belum tiba. Ada seseorang dari masa lalu yang tiba-tiba muncul sebagai penyelamat. Aku masih ingat namanya, dan posisinya. Demi kemanannya namanya tidak kutuliskan disini.

Aku adalah satu-satunya orang yang lolos dari peristiwa penculikan dan pembunuhan puluhan aktivis. Kami melakukan penolakan dan perlawan terhadap sebuah pabrik milik konglomerat nomer 1 di Indonesia. Pabrik itu menghasilkan limbah beracun yang menghabiskan satu desa di Jawa barat. Aksi protes dan perlawanan kami ini, kemudian berujung pada kematian banyak orang. 

Aku sudah tidak bisa bersedih lagi. Kali ini air mata yang terjatuh bukanlah air mata kesedihan. Melainkan airmata kemarahan. Aku bersumpah akan menuntut keadilan.

Lepas dari peristiwa penculikan itu, aku tinggal beberapa hari di sebuah hutan. Untunglah pengetahuan tentang bertahan hidup sudah kudapatkan saat aku mengikuti pelatihan pencinta alam dulu. Sejak dulu aku sudah yakin bahwa aku akan mengalami hal seperti ini.

Makan hanya mengandalkan buah, dan tanaman-tanaman. Aku bahkan sempat juga makan telur ular, dan daging ular. Malahan juga serangga dan ulat-ulat. Pengalaman ini sebenarnya menyenangkan jika dilakukan dengan santai. Tapi kondisiku saat itu yang sedang melarikan diri memang tidak bisa dibuat main-main.

Keluar dari hutan, aku menemukan rumah-rumah penduduk. Sebuah dusun kecil di Jawa barat. Hampir-hampir mirip dengan desa di mana kejadian kematian massal akibat limbah beracun pabrik itu.

Di dusun ini aku mengaku sebagai pendaki gunung yang tersesat. Untung mereka adalah orang-orang polos sehingga tidak mencurigai keteranganku.
Aku menetap beberapa hari disini, menguatkan tubuhku yang hampir tidak pernah beristirahat dan makan yang pantas selama beberapa hari. Ketika pamit pergi, beberapa penduduk bahkan memberiku bekal uang dan makanan. Mereka juga memberikanku baju dan sepatu. Dalam hati aku berjanji, jika pulang kembali ke Indonesia, tempat itulah yang akan ku kunjungi pertama kali.

Saat keluar dari dusun itu, tampangku memang sudah tidak karuan. Gondrong, janggot dan brewok lebat. Serta tubuh jauh lebih kurus. Kondisi ini malah membantuku menyamarkan diri. Aku menghubungi handphone adikku, dan menceritakan kondisiku. Ia sangat gembira ketika ku telpon.

Katanya ia melihat kabar di televisi tentang penemuan banyak mayat di Jakarta. Kebanyakan mayat-mayat itu adalah aktivis sahabat-sahabatku. Rena mengenali identitas mereka. Keluarga di rumah menanti kabarku dengan harap-harap cemas karena mereka mengira aku juga sudah dibunuh. Aku meminta Rena untuk tenang dan tidak langsung menceritakan keadaanku kepada kedua orangtuaku. Hubunganku dengan kedua orangtuaku memang tidak begitu baik.

Tanggal 10 Januari, Aku meminta Rena untuk bertemu di suatu tempat. Aku memintanya untuk membawakan berbagai keperluan seperti baju, surat identitas, sejumlah uang, dan juga buku tabunganku sendiri. Uang itu kupakai untuk mengurus visa dan kabur ke Amerika.

Pada sisi tertentu, Amerika memang The Land of the Free.

29 Januari 2003

Bangun pagi hari, di sebuah motel kecil. Aku membersihkan diri dan menikmati sarapan pagi di sebuah restoran kecil. Rena memberikanku sebuah laptop kecil miliknya. Katanya itu bisa dipakai sebagai alat
komunikasi dengannya. Ternyata memang berguna sekali. Di restoran itu terdapat jaringan yang bisa dimanfaatkan untuk internet.

Aku mengirim email kepada Rena dan memberitahukan keadaanku. Aku menginjinkannya untuk menceritakan keadaanku kepada ayah dan ibu. Setelah mengirim email, aku lalu jalan-jalan menyusuri kota ini. Aku sebenarnya tidak begitu asing dengan kota ini, karena beberapa kali pernah datang kesini.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir aku melakukan pertaruhan yang amat besar dengan menggunakan identitas asliku sendiri. Tetapi aku yakin keadaan sudah tidak seberbahaya dulu. Sepanjang pengetahuanku, mayat-mayat orang yang dibunuh berbarengan dengan aku, sampai saat ini belum ditemukan. Jadi tidak ada seorang pun yang curiga, jika sebenarnya 'mayat'nya kurang satu. Itulah sebabnya dengan berani aku menggunakan pasporku sendiri. Dengan menggunakan hubungan relasiku dengan salah seorang yang bekerja di kedutaan Amerika, visaku akhirnya disetujui dengan cepat.

Terlebih dulu aku ke Singapura melalui Batam pada tanggal 25 Januari. Tiga hari kemudian lalu menggunakan pesawat langsung ke Amerika. Entah kenapa perjalananku seperti lancar dan aman-aman saja. 

Tuhan pasti sedang melindungiku.

Aku menghirup udara kebebasan ini dengan penuh rasa syukur. Sesorang, jika sudah pernah berhadapan dengan maut pasti menjadi jauh lebih berani, dan juga jauh lebih bersyukur. Kematian hanya bagai sekejap mata.

Capek jalan-jalan, aku berhenti di sebuah toko musik. Melihat toko itu, timbul suatu ide di kepalaku. Bergegas aku mencari sebuah restoran yang memiliki fasiltas internet dan mengirim email lagi kepada Rena.

Ternyata ia sudah membalas email yang tadi ku kirimkan kepadanya. Katanya ia senang sekali bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Ia juga sudah menceritakan keadaanku kepada ayah dan ibu. Aku lalu membalas email itu lagi. Aku memintanya untuk mengirimkan seluruh ijazah-ijazah ku. Aku juga
memiliki sertifikat di bidang musik dan bela diri. Dulu aku bahkan sempat mengajar piano di sebuah sekolah musik bonafid di Jakarta.

Dengan menggunakan kedua sertifikat ini, aku rasa aku bisa mengajar untuk mencari tambahan dana. Di email itu, aku juga mengajak Rena untuk chatiing nanti malam. Amerika berbeda 12 jam dengan Indonesia. Berarti itu pagi hari di Indonesia. Semoga Rena bisa.

Sepulang jalan-jalan, aku kembali ke motel. Istirahat sebentar dan mengatur rencana. Malamnya aku benar-benar bisa chatting dengan Rena. Senang sekali.

30 Januari 2003

Rena bersedia mengirimkan seluruh ijazah dan sertifikat yang ku minta. Hari ini rencananya aku akan ke Harvard University untuk bertanya-tanya. Semoga nanti lancar.

7 Februari 2003

Hampir seminggu tidak menulis catatan. Aku disibukkan oleh urusan mencari apartemen, dan pekerjaan. Syukurlah semua terasa lancar. Walau apartemen ini kecil dan agak kotor, setidaknya posisinya dekat dengan kampus dan juga harganya murah. Aku sudah memiliki banyak brosur tentang sekolah musik di kota ini. Tinggal tunggu kiriman ijazah dan sertifikatku dari Rena. Kami tiap hari mengobrol, tepat jam 6 malam waktu sini. Aku sangat sayang sekali dengan adikku itu. Semoga Tuhan melindunginya.

10 Februari 2003

Paket dari Rena akhirnya datang juga. Isinya sesuai dengan permintaanku. Bahkan sudah dilegalisir dan ada fotokopiannya. Dia bahkan mengirimkan sebuah jaket hijau model army. “Buat jaga-jaga kalo dingin” katanya. Ada-ada saja.

Aku segera bergegas ke beberapa sekolah musik untuk mendaftar sebagai pengajar. Melihat sertifikatku, mereka rasanya terkagum-kagum juga. Tapi katanya, mereka akan memproses dulu dan akan memberi kabar dalam satu atau dua minggu.
Semoga keterima. Amin.

14 Februari 2003
Hari ini Valentine's day. Aku sih tidak perduli dengan hari itu. Tapi tetap saja aku mengucapkannya kepada Rena. Dia memang sedang tidak punya pacar. Menurutku itu lebih baik. Pergaulan anak perempuan jaman sekarang memang berbahaya. Aku sudah sering mengingatkan Rena tentang hal ini, diapun sepertinya paham. Siapapun yang memiliki adik perempuan, pasti paham dengan perasaanku ini.

Sejak kecil kami berdua memang dekat. Umur kami berbeda sekitar 2 tahun. Aku sering sekali mengajaknya mengikuti kegiatan-kegiatanku. Dulu waktu aku kelas 3 SD, aku sudah ikut bela diri. Aikido menjadi pilihanku. Saat itu Rena masih terlalu kecil. Baru ketika dia kelas 3 SD juga, dia mendaftar ikut Aikido. Bertahan hanya 2 tahun. Katanya dia pegel dibanting dan dilipet-lipet.
Keluar dari Aikido dia ikut-ikutan les piano, aku memang sudah les piano sejak kelas 1 SD. Tapi Rena seperti kurang tertarik dengan musik. Baru ketika ia kelas 5, ia mulai tertarik mengambil les piano juga. Itu juga cuma bertahan satu tahun.

Ketika ayah ditugaskan ke Papua, aku masih kelas 2 SMP. Kami hanya sekitar 2 tahun disana. Tetapi 2 tahun itu hampir merubah segalanya. Aku menyaksikan peristiwa-peristiwa memilukan yang terjadi pada penduduk Papua.

Aku tidak akan menuliskan peristiwa-peristiwa itu disini, karena hanya akan mengingatkanku kepada trauma, dan kemarahan. Tapi satu yang pasti, hubunganku dengan ayahku berubah total. Aku bahkan malu memiliki ayah seperti dia. Malu bahwa di dalam darahku, mengalir pula darahnya.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi pemberontak. Aku menjadi pemberontak di rumah. Lalu menjadi pemberontak di sekolah. Lalu menjadi pemberontak di jalan-jalan. Sudah tak terhitung lagi hukuman yang diberikan ayahku. Mulai dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Semua ku terima dengan mata menantang.

Hingga akhirnya dia menyerah, dan tidak perduli lagi dengan semua yang ku lakukan. Bentuk pemberontakanku, tidak seperti anak-anak muda jaman sekarang yang lari kepada narkoba, alkohol, dan sex. Pemberontakanku adalah dengan tidak pernah pulang ke rumah sampai berbulan-bulan. Aku menginap disana-sini. Rumah teman, masjid, rumah orang, bahkan juga di emperan jalan.

Tapi aku selalu ke sekolah. Di sekolah aku menemukan sahabat-sahabat sejati. Aku sering sekali membolos. Tapi tak pernah dikeluarkan. Ini karena nilaiku selalu bagus. Aku bahkan selalu rangking satu di kelas. Les piano dan Aikido pun tidak pernah ku lewatkan.

Aku suka sekali aikido. Keahlian ini aku pakai untuk menjadi jagoan di jalanan dan sekolah. Siapapun yang sok jago di sekolah pasti ku tantang. Terkadang aku menang, terkadang juga kalah. Tapi tidak ada satu orang pun yang berani mencari perkara denganku. Aku sendiri bukan orang sombong dan angkuh,
setiap orang ingin kujadikan sahabatku. Tapi jika orang itu sombong dan angkuh, aku lah orang pertama yang akan menantangnya.

Itulah sebabnya aku banyak sekali mempunyai teman di sekolah. Setiap ada masalah apapun di sekolah, pasti aku lah orang pertama yang dicari. Entah karena dipikir aku biang kerok, atau karena sepertinya aku selalu tahu dan paham tentang keadaan sekolah.

Lulus SMA, aku masuk ke UI. Saat itu ayahku sudah menjadi menteri. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa aku adalah seorang anak pejabat. Itu adalah latar belakang yang memalukan bagiku. Aku mengambil jurusan kedokteran, mengikuti jejak tokoh yang sangat kukagumi, Che Guevara.

Tahun berikutnya aku mengambil jurusan hukum, karena tertarik dengan bidang ini. Dua kuliah ini kujalankan dengan baik, dengan nilai yang baik pula. Padahal itu dibarengi dengan segala kegiatan lain yang juga padat.

Aku menjadi anggota pencinta alam di kampus. Main band. Ikut perkumpulan Capoeira. Dan hobi yang paling ku senangi adalah pertarungan jalanan. Setiap malam minggu, di sebuah tempat terpencil di 'pelosok' Jakarta, diadakan pertarungan jalanan. Ini adalah sebuah pertarungan bebas, tanpa aturan.

Apapun boleh, asal menggunakan tangan kosong. Banyak orang yang mengikutinya karena faktor uang yang banyak. Tapi aku mengikutinya karena senang. Dari pertarungan jalanan inilah aku mengenal banyak orang-orang bawah tanah. Penadah, maling, rampok, pembajak, pemalsu, bandar judi, bandar togel, bandar narkoba, mucikari dan lain-lain. Mereka ada yang turun sebagai petarung, namun ada juga yang turun sebagai petaruh. Belasan juta yang beredar setiap pertarungan diadakan. Bahkan ada juga pejabat-pejabat yang datang menikmati pertarungan ini.

Setiap uang yang kudapatkan, selalu kutabung. Walaupun uang bagiku bukan masalah, tetapi aku jarang sekali memakai uang pemberian ayahku. Rekeningku berisi puluhan juta rupiah. Aku tahu bahwa uang itu halal hasil peternakan dan perkebunan ayahku, tapi aku sedikit 'jijik' menyentuh uang
itu. Kadang-kadang kupakai uang itu untuk menyumbang orang-orang yang tidak mampu.

Aku membiayai hidupku sendiri dari hasil mengajar musik. Saat lulus SMA aku sudah memiliki sertifikat pianis. Dengan itu aku mengajar di beberapa tempat kursusu musik, dan juga memberi les privat. Hasilnya cukup besar. Aku juga mengajar Aikido di perguruan tempat aku berlatih dulu.

Posisiku kini sudah cukup tinggi untuk bisa mengajar. Menginjak semestar 3 aku semakin membenamkan diri dalam dunia aktivisme. Aku berkenalan dengan dunia ini ketika semester 2. Saat itu mahasiswa turun ke jalan untuk menjatuhkan orde baru. Aku berkenalan dengan berbagai aktivis, dan punya hubungan baik dengan mereka sampai sekarang.

Sampai akhirnya banyak dari mereka yang ditemukan terbunuh beberapa bulan lalu. Banyak kenanganku dengan kawan-kawan seperjuanganku ini. Demonstrasi, melawan aparat, membuat bom molotov, bahkan kami sering ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama beberapa hari. Lalu ketika kami keluar dari penjara, sahabat-sahabat lain menganggap kami sebagai pahlawan.

Aku masih ingat senyuman mereka, canda tawa mereka, dan keseriusan mereka dalam pergerakan. Mereka mati sebagai martir atas apa yang mereka yakini. Bagiku, kematian seperti itulah yang kucari. Orang-orang seperti kami memang tidak cocok mati diatas tempat tidur. Kami ditakdirkan mati muda,
penuh semangat dan keberanian. Orang-orang seperti kami.

Inilah sekilas hidupku. Aku tidak tahu mengapa aku menuliskannya disini. Apa karena buku harianku dulu hilang entah kemana, ataukah aku hanya sekedar bermesra-mesraan dengan masa lalu. Entahlah hari sudah malam. Lebih baik tidur saja.

17 Februari 2003
Panggilan dari sekolah musik datang. Akhirnya aku bisa mengajar juga. Senang rasanya akhirnya mendapatkan pemasukan. Walaupun visaku hanya memperbolehkan bekerja secara paruh waktu, setidaknya aku bisa memakai uangnya untuk menutupi kebutuhanku.

Kemaren aku juga sudah mendaftar ke sebuah perguruan Aikido. Katanya mereka akan menghubungiku dalam beberapa hari lagi.

20 Februari 2003
Hari pertama bekerja sebagai pengajar piano. Senang juga. Rasanya seperti mengajar di Indonesia saja. Aku jadi teringat saat-saat dulu. Saat mengajar di sebuah kursusan kecil milik teman. Waktu itu aku hanya berani mengajar anak-anak kecil. Sekarang, walaupun sudah memiliki sertifikat konservatorium
internasional, aku masih disuruh mengajar anak-anak. Mungkin karena mereka ingin melihat dulu kemampuan mengajarku.

Selain mengajar di kursusan, aku juga berusaha untuk mengajar privat langsung ke rumah-rumah. Aku mengumumkannya melalui selebaran-selebaran. Alhamdulillah sudah ada 3 orang yang tertarik.
Lumayanlah.

Btw, suasana di kursusan ini lumayan nyaman, dan orangnya juga ramah-ramah. Kalau jualan jasa, seharusnya memang ramah. Hari pertama disini aku sudah langsung merasa betah. Aku bekerja dari siang sampai menjelang malam. Ada sekitar 8 murid yang kupegang. Masing-masing setengah jam.
Sampai di apartemen aku langsung mandi, istirahat, dan menulis catatan ini. Tidur yang nyenyak biar besok bisa segar. Amin

25 Februari 2003
Rena ngambek karena beberapa hari ini aku tidak sempat chatting atau mengirim email. Aku cerita kalo aku sudah mulai bekerja. Dia nampaknya senang juga mendengarnya. Sekarang ini dia lagi sibuk persiapan ujian akhir SMA nya.

Aku mengingatkan dia untuk fokus belajar dan meninggalkan kegiatan syutingnya untuk sementara.
Rena bilang kalo dia sudah terlanjur terikat kontrak. Alhasil dia harus belajar di tempat syuting.
Kasihan juga.

1 Maret 2003
Aku diterima mengajar di perguruan Aikido. Kemaren sempat di tes. Langsung lawan gurunya. Walaupun tidak bisa mengalahkannya sepertinya dia senang juga dengan kemampuanku. Sama seperti piano, aku disuruh mengajar anak-anak kecil dan yang usia SMP. Alhamdulilah.

25 Maret 2003
Hampir tiga minggu aku tidak menulis catatan ini. Sibuk sekali. Kini aku bekerja hari dalam seminggu. Bukan sesuatu yang baru sebenarnya. Aku sudah terbiasa bekerja dan berkegiatan sepenuh waktu. Tetapi pola hidup orang Amerika yang disiplin membuatku kelimpungan juga. Segala sesuatunya disini harus dijadwal dengan rapi, kalo tidak bisa berantakan.

Chatting dengan Rena juga sudah tidak bisa sesering dulu. Dia sibuk syuting sampai bahkan harus menginap. Padahal sudah mau ujian. Kasihan juga anak itu. Tapi kalo emang sudah suka, kegiatan seperti itu memang tidak bisa dilarang lagi.

1 April 2003
Hari ini ulang tahun Devo. Temanku yang satu itu entah dimana dia. Dengar-dengar dia di Amerika juga. Coba kuminta Rena mencarikan kabarnya. Mudah-mudahan rumah keluarganya belum pindah.

Semenjak mengungsi ke sini, kontak-kontak dengan sahabat terputus semua. Memang salahku yang tidak mau mengingat email, dan nomer telpon mereka. Tapi kalau sesuatu bisa dicatat, ngapain juga harus diingat? Wwkwkwkwkwkwkw.

2 April 2003
Dengan segala yang terjadi akhir-akhir ini, aku merasa harus melakukan sesuatu. Begitu banyak ketidakadilan yang terjadi di depan mataku. Sudah terlalu lama aku bersabar. Tapi sesungguhnya aku pun tidak tahu harus melakukan apa. Bentuk gerakan seperti apa, bentuk perlawanan seperti apa, aku tidak tahu. Daniel, temenku aktivis dulu bilang bahwa perlawanan terbaik adalah dalam membentuk konglomerasi yang kuat. Sesorang harus kaya, dan harus powerful. Dengan begitu dia sanggup melakukan perubahan-perubahan.

Tapi bagiku, sebelum seseorang mencapai tahap konglomerasi, ia harus mempunyai dasar ideologis yang kuat. Kalo kata teman-teman 'kanan', akhlaknya harus lurus dulu. Aku sepakat dengan ini.

Seseorang tanpa ideologi yang kuat, tidak akan mencapai pemahaman tentang keadilan. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki empati terhadap rakyat jelata, sedangkan ia tak pernah merasakan perihnya menjadi rakyat jelata?
Bagaimana mungkin ia tahu susahnya berjuang demi keadilan, jika untuk menyelesaikan segala urusan, ia cukup membayar sejumlah uang?

Perlawanan haruslah dengan segala kekuatan. Kekuatan ekonomi sangat penting. Dengan kekuatan ekonomi kita bisa menggerakkan massa, membeli segala keperluan pergerakkan. Tapi aku sangsi jika kekuatan ekonomi sanggup merubah dunia dalam skala yang sebenar-benarnya.

Aku lebih percaya gerakan bersenjata. Orang hanya bisa menundukkan penguasa lalim dengan perlawanan bersenjata. Tanpa itu, aku rasa semua sia-sia. Memang Ghandi dulu telah membuktikkan bahwa India bisa mengusir penjajah dengan perlawanan tanpa kekerasan. Melalui civil disobedience.

Tetapi apakah itu cocok diterapkan di seluruh dunia? Apalagi dunia modern dan canggih seperti sekarang ini.

Tetapi bisa juga kedua metode ini disatukan. Yaitu perlawanan bersenjata, dan juga perlawanan tanpa kekerasan. 

Aku pikir ini adalah jalan terbaik. Harus ada sebuah kelompok yang melakukan gerakan bersenjata, sedangkan kalangan rakyat jelata melakukan civil disobedience.

5 April 2003
Sekarang aku melakukan persiapan-persiapan untuk kuliah, ada beberapa dokumen yang harus ku urus
lagi. Repot. But exciting.

9 April 2003
Aku selama ini mempertanyakan pilihan-pilihan hidupku. Tetapi sekarang aku temukan. Aku tahu apa yang harus ku lakukan.

10 April 2003
Sertifikat dari MENSA international sudah siap. Dengan tanda keanggotaan ini saja, aku pikir tidak akan membuatku kesulitan masuk universitas.

11 April 2003
Aku ke kampus, bertanya-tanya tentang pendaftaran. Begitu mereka tahu aku anggota MENSA, aku langsung dipertemukan dengan Dekannya. Seru juga.
Kami membahas banyak hal tadi. Ia bertanya-tanya tentang keadaan Indonesia. Aku bercerita banyak.

Aku sempat cerita tentang keadaan politik juga. Ia nampaknya tertarik sekali dengan Indonesia.

12 April 2003
Wow, aku disuruh mendaftar ke universitas itu. Sebenarnya aku masih ragu apakah harus melanjutkan kuliah atau tidak. Tapi si dekan menawarkan full scholarship. Aku terpaksa mengulang lagi kuliahku dari awal. Tapi mumpung sudah pernah kuliah, mudah-mudahan nanti bisa lebih cepat menyelesaikan
SKS dan mendapat IP yang bagus.

Yah sudah biarlah, akhirnya kuliah juga. Sesuatu yang kukira harus kulewati dengan penuh perjuangan, ternyata gampang sekali. Memang ayat Quran “Dibalik kesulitan, ada kemudahan” benar sekali.
Rena pasti senang sekali mendengar ini.

24 April 2003
Aku ingat sekali hari ini hari apa. Beberapa tahun yang lalu. Kesedihan dan lukanya masih membekas. Entah kenapa rasa sakitnya masih terasa. Padahal kejadiannya sudah lewat bertahun-tahun yang lalu.

27 April 2003
Kesibukanku sehari-hari membuatku agak malas menulis catatan ini. Tapi hal ini harus kucatat juga. Beberapa hari yang lalu, saat sore-sore iseng-iseng aku ke taman. Sudah beberapa bulan aku tinggal disini, memang baru pertama inilah aku ke taman kota. Ternyata banyak sekali kegiatan disana.

Ada orang berlatih silat, ada olah raga jalan santai, ada yang pacaran, ada juga yang cuma tidur-tiduran. Tapi ada suatu kegiatan yang menarik. Ada beberapa anak muda, yang latihan lompat-lompatan, jumpalitan, dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara akrobatik. Seperti film-filmnya
Jacky Chan saat ia melompati pagar, atau memasuki gedung dengan cara akrobatik.

Aku tertarik memperhatikan kegiatan ini. Ketika ku tanya ke salah seorang yang latihan, dia bilang kalau kegiatan itu bernama 'Parkour'. Itu istilah dari bahasa Perancis. Gunanya adalah untuk melatih kita melintasi berbagai rintangan. Seperti 'olah raga' halang rintang, namun lebih ekstrim, dan lebih
akrobatis.

Menarik sekali. Aku bertanya apakah aku boleh ikut latihan, dan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk menjadi anggota. Dia bilang bahwa itu hanya untuk senang-senang dan aku diperbolehkan ikut latihan kapan saja aku mau.
Wah menyenangkan sekali. Besok sore aku harus ikut.

28 April 2003
Aku sudah menjadwal ulang waktu mengajarku di kursusan sehingga pada sore hari aku bisa mengikuti latihan 'Parkour'. Orang yang kemaren ngobrol denganku namanya Philip. Dia cukup ramah. Ia mengenalkanku dengan beberapa orang yang disana. Mereka ramah dan terbuka dalam menerima anggota baru.

Hari pertama aku mengikuti latihan dasar. Philip memberi petunjuk-petunjuk padaku. Senang sekali bisa ikut kegiatan ini. Sesuatu yang baru seperti ini memang selalu menarik bagiku.

7 Mei 2003
Tiap hari ikut latihan Parkour, aku menjadi semakin mahir. Orang-orang kaget melihat kemajuanku yang cukup pesat. Aku bahkan sudah bisa melakukan teknik-teknik yang sulit. Intinya sebenarnya adalah keberanian. Jika kita berani mencoba melakukannya, semua terasa mudah.

Aku juga makin akrab dengan Philip, dia seorang anggota band 'Hardcore'. Dia juga seorang 'straight edge'. Aku walaupun juga 'tidak sengaja', adalah seorang straight edge juga. Cuma memang tidak kuproklamirkan.

Kemaren aku datang ke sebuah club tempat dia manggung. Ramai sekali. Penuh sesak, dan semua orang teriak ikut nyanyi. Bandnya itu lumayan punya banyak penggemar juga rupanya. Aku dikenalkan Phillip dengan beberapa anggota bandnya.

Yang paling aku ingat, adalah vokalisnya. Namanya David. Rambut dreadlocksnya mengingatkanku kepada Zack De la Rocha, vokalisnya Rage Against The Machine. Si David ini rupanya seorang aktivis. Dia sering 'pidato' setiap jeda lagu. Selesai manggung aku bertanya kepada David apakah dia
seorang aktivis, dia menjawab 'iya' dengan antusias.

Ketika dia mengajukan pertanyaan yang sama kepadaku, aku menjawab sama antusiasnya. Aku cerita bahwa aku sering membuat demo di Indonesia. Tapi aku tidak bercerita detail tentang kegiatan aktivismeku. Dia senang bertemu teman sesama aktivis dan mengajakku untuk datang ke rapat 'komunitas' nya.
Katanya 'komunitas'nya itu adalah sebuah organisasi LSM yang perduli terhadap isu-isu sosial. 

Aku menjadi tertarik, beberapa bulan ini aku berkutat dengan masalah pekerjaan, sehingga melupakan 'hobby' ku yang satu ini. Tanggal 10 akan ada rapat dan aku diajak datang. Kupikir pasti bakalan menarik. Walau aku tidak tahu isu apa yang akan mereka bahas, setidaknya pertemuan itu bisa membuka link-link baru bagiku.

11 Mei 2003
Semalam aku datang ke rapat komunitasnya David. Menarik juga. Isu yang diangkat, orang-orang yang datang, semuanya menarik. LSM nya itu bernama “Youth Against Injustice” disingkat 'YAI'. 

Mereka adalah anak-anak muda yang perduli dengan berbagai isu-isu sosial. Seperti pendidikan, perdagangan bebas, dan juga kebijakan publik.

Aku diperkenalkan sebagai aktivis dari Indonesia, dan dipersilahkan berbicara. Aku akhirnya bercerita banyak tentang pergerakan di Indonesia. Bahkan aku cerita juga tentang aksi kami yang dulu berbuah kehancuran 'orde baru'. Mereka sepertinya kagum juga begitu tau bahwa aku adalah aktivis pergerakan '98.

Pertemuan pertama ini cukup memberi impresi yang baik bagi kedua belah pihak. Pihak mereka dan juga pihakku sendiri. Begitu pulang ke rumah, aku langsung membuka internet dan mencari tahu tentang 'YAI'. Dari situsnya aku belajar banyak. Ini organisasi yang rapi dan baik, bahkan juga hampir berskala nasional, bukan cuma lokal kota ini saja.

Aku harap aku bisa ikut kegiatan mereka

20 Mei 2003
Aku disibukkan oleh berbagai kegiatan sekarang. Mengajar piano dan Aikido. Lalu sore latihan Parkour, malam ikut rapat YAI. Kalau kupikir-pikir, amat beruntung penyakit lamaku tidak kambuh.

Terakhir kambuh waktu aku di hutan, saat meloloskan diri dari penculikan dulu. Kalau dipikir-pikir penyakitku itu emang aneh. Muncul disaat yang tidak disangka-sangka. Dengan banyaknya kegiatan seperti ini, aku khawatir penyakitku itu datang lagi. Untungnya sampai sekarang aman-aman saja.

Kadang-kadang aku masih sering chatting dengan RenaSinetron Rena meledak rupanya. Dia sekarang ngetop. Baguslah, setidaknya dia punya kegiatan yang positif. Asal tidak ikut-ikutan bergaya selebritis saja, aku pikir sih tidak apa-apa dia jadi artis.

12 Mei 2003
YAI siap melakukan aksi besar sekarang. Kami memprotes tentang penangkapan salah seorang aktivis kiri yang dilakukan oleh FBI. Besok aksi ini akan dipusatkan di city square, dan kantor FBI. Semoga berjalan dengan baik.

David akan menjadi salah seorang kordinator lapangan. Aku masih belum diberi tugas apa-apa. Ini wajar karena mereka sama sekali buta tentang kapasitasku. Dengan begini aku malah lebih bebas memperhatikan keadaan.

13 Mei 2003
Aksi tadi pagi berjalan sukses. Tidak begitu kacau, walaupun ada sedikit keributan dengan aparat setempat. Ternyata seperti di Indonesia, aksi-aksi seperti ini banyak juga disusupi intel. Aku memperingatkan David tentang 3 orang intel yang menyusup. David juga tau rupanya. Ia memerintahkan 6 orang anggota untuk mengantisipasi gerakan 3 orang intel itu.

Intisipasi berjalan dengan baik, walaupun terjadi sedikit clash. Ketiga orang itu berhasil dikeluarkan dari barisan. Dalam tas mereka ditemukan molotov. Padahal kami semua sepakat untuk melakukan aksi ini dengan damai.

Selesai aksi, David bertanya kepadaku bagaimana aku bisa tau kalo ketiga orang itu adalah intel. Aku menjawab bahwa pengalamanku di dalam aksi sudah sangat banyak. Itu saja. Dia tampaknya impressed juga.

Selesai aksi kami melakukan kordinasi final, menghitung jumlah anggota. Dan kemudian pulang. Malamnya kami semua berkumpul ke markas. Aku langsung ke markas begitu selesai latihan Parkour.

Mandi ku lakukan di markas, karena ada kamar mandinya.

Kemudian kami rapat membahas aksi tadi pagi. Selesai rapat David mengajakku untuk menginap di markas. Untuk berjaga-jaga siapa tahu nanti ada aksi 'balas dendam'. Aku, David, dan 3 orang lainnya menginap.
Kulanjutkan lagi catatan ini besok pagi. Semoga nanti semua berjalan aman.

14 Mei 2003
Semalam aman-aman saja. Aksi balas dendam yang ditakutkan tidak terjadi. Aku selesai sholat subuh baru tidur. David sepertinya kaget bahwa aku seorang muslim. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi nampaknya agak rikuh. Aku pura-pura tidak tahu dan memilih untuk tidur. Ia pun turut tidur.

Siang aku bangun, siap-siap mau mengajar. Aku mengajak David untuk menginap di rumahku nanti malam. Ia bilang pikir-pikir dulu, karena ada beberapa pekerjaan yang harus ia lakukan. Aku bilang, kalo jadi menginap, telpon aja dulu.

15 Mei 2003
David jadi menginap disini tadi malam. Kami berdiskusi tentang banyak hal. Dan sesuai dugaanku, ia bertanya tentang Islam. Aku menjelaskan banyak hal. Bahwa Islam tidaklah identik dengan teroris, bahwa Islam sebenarnya melarang tindakan terorisme. Aku menceritakan sebuah Hadits Rasulalloh SAW yang melarang para tentara muslim melakukan beberapa hal dalam perang, yaitu: 
Membunuh wanita, membunuh anak-anak, merusak pohon, dan meracuni sumber air.

Ia manggut-manggut saja ketika aku bercerita panjang lebar. Sampai akhirnya kami tertidur saat larut malam. Saat aku sholat subuh ini, dia masih tidur terlelap. Aku tidak bertanya tentang asal usul David.

Tapi dari namanya saja, David Haneman, aku tau kalau dia seorang jewish. Aku harap dia yang akan bercerita sendiri nanti tentang dirinya.

Pagi yang dingin ini entah kenapa nafasku agak sedikit sesak. Aku membuat minuman hangat dan juga menyiapkan air hangat untuk merendam kakiku. 

Untunglah jadi lega kembali.

20 Mei 2003
Rena cerita kalau dia lulus dengan nilai bagus. Aku lega dan senang. Sekarang saat untuk siap-siap UMPTN, kataku. Dia bilang dia ingin masuk kampus swasta saja. Aku bilang aku sih setuju saja, tapi alangkah baiknya kalo dia masuk UI juga. Senang aja rasanya kalau dia mau ngikuti jejakku. Tapi katanya Rena memilih masuk IKJ. Mau ambil jurusan seni peran. Aku bilang aku sangat mendukung keputusannya.

Tadi malam aku nginap di markas, dan ngobrol banyak dengan David. Dia mulai terbuka dengan latar belakangnya. Ia bilang kalo ia jewish. Aku tak bereaksi aneh, bahkan tersenyum. Malah dia yang heran. Dia pikir semua orang muslim membenci Yahudi. Aku jelaskan padanya, bahwa kami dididik harus adil oleh Rasul kami. Orang dinilai karena perbuatannya, bukan karena latar belakangnya. Aku cerita bahwa di jaman dulu, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA, pernah kalah di pengadilan dari seorang Yahudi yang miskin. Padahal khalifah adalah pemimpin negara. 

Atau cerita tentang Khalifah Umar Bin Khatab yang memerintahkan seorang gubernurnya untuk mengembalikan tanah seorang Yahudi, karena tanah itu adalah hak milik orang Yahudi itu.

David kagum juga mendengar ceritaku. Aku bilang tidak perduli bahwa seseorang itu muslim, kristen, atau yahudi, ia wajib diperlakukan dengan adil. Mendengar kata-kataku itu ia tersenyum. Aku pun tersenyum.

Kembali ke cerita David, walaupun seorang yahudi, ia tidak mengikuti syariat agama yahudi. Ia memilih menjadi seorang agnostik. Agnostik adalah paham yang percaya akan keberadaan Tuhan, namun tidak mengikuti ajaran agama apapun. Aku sudah sering bertemu dengan kawan-kawan seperti ini jadi tidak kaget lagi. Aku bilang apapun pilihan hidupmu, kamu bebas melakukannya asal bertanggung jawab penuh dengan pilihan itu. Ia tertawa sepakat.

Dari berbagai sisi, David itu mirip dengan sifatku. Itulah sebabnya kami menjadi cepat akrab.

27 Mei 2003
YAI melakukan aksi besar lagi, kali ini menolak kebijakan ekonomi pemerintah. Banyak sekali organisasi yang turun ke jalan kali ini. Ribuan orang turun ke jalan. Kami sempat bentrok dengan aparat. Aku menyelamatkan seorang kawan yang tertangkap aparat.

Banyak kawan yang terluka dalam aksi ini, dan kami beramai-ramai menanggung biaya rumah sakitnya. Di rumah sakit David berkata bahwa ia kagum kepada keberanianku. Saat aku bertanya keberanianku yang mana, ia bilang bahwa ia melihat seluruh aksiku menyelamatkan seorang kawan yang tertangkap.

“Kamu dengan berani menerobos kepungan polisi, dan hujaman peluru karet, lalu kamu bahkan membanting beberapa polisi ke aspal. Lalu kamu dengan cepat menarik kawan kita yang tertangkap. Melulu aksi itu saja sudah bisa bikin kamu dapat bintang jasa” Begitu kata David.

Aku bilang bahwa ilmu Aikido ku itu tidak percuma dan memang sering kugunakan. Dia bilang dia baru tahu kalo Aikido itu bisa efektif dalam pertarungan beneran. Dia pikir Aikido itu hanya untuk peragaan dan kesehatan.

Gila. Kesehatan? Aku bilang kalo kamu sudah pernah dilipet-lipet baru kamu akan tahu kalo Aikido itu bukan untuk kesehatan. Dia tertawa-tawa saja.

Pulang dari rumah sakit aku segera ke tempat mengajar Piano. Terlambat rupanya. Dan aku dimarahi, beberapa kali sering terlambat. Aku bahkan diancam akan dipecat. Aku meminta maaf dan berjanji akan berusaha untuk tepat waktu.

Tetapi si kepala sekolah itu malah bilang, “Damn you Indonesian, always late”
Begitu mendengar itu aku langsung marah. Aku langsung bilang:

“Kau tahu apa tentang Indonesia? Kau tahu bahwa bangsa seperti kalian datang ke negara kami menjajah ratusan tahun, oleh membodohi rakyat kami. Bangsa kami dulunya adalah penguasa dunia. Kekuasan majapahit bahkan hampir sampai ke eropa. Saat Amerika belum ada, perahu pinisi kami sudah menjelejahi benua-benua.

Kalianlah yang menjajah, dan merusak mental bangsa kami. Kekayaan alam kami kalian kuras dan kalian pakai untuk membangun bangsa kalian. Sekali lagi kau menghina negaraku, I'll cut your fucking throat”

Dengan sendirinya aku dipecat. Tapi aku tidak perduli. Jika harus matipun, akan kubela nama baik bangsaku.

28 Mei 2003
Rena kaget ketika aku dipecat. Tapi aku bilang pemasukanku bukan cuma dari sekolah itu saja. Aku juga mengajar musik secara private ke rumah-rumah sehingga masih punya pendapatan lain. Apalagi aku juga masih mengajar Aikido. Ia akhirnya lega setelah aku menjelaskan ini.

Rena cerita bahwa sekarang sedang musim panen. Peternakan ayah sedang besar-besarnya sekarang. Pantas saja, begitu melihat rekening tabunganku aku kaget juga jumlahnya meningkat pesat. Duit di tabungan sama sekali belum kupakai. Mungkin nanti kupakai untuk donasi ke YAI.

Selain itu, Rena juga minta doa restu. Ia akan mengikuti ujian masuk IKJ. Aku bilang supaya dia belajar yang rajin, dan juga sholat gak boleh ditinggal. Harus ditmbahi sholat malam dan sholat dhuha.
Dia malah bilang “iya pak ustad!”. Aku ketawa aja. Kalau ada disini pasti sudah kujewer. Kangen juga sama adikku itu.

1 Juni 2003
Nginep lagi di markas YAI. Membahas banyak hal dengan David. Ia nampaknya semakin percaya denganku. Orginisasi sendiri pun sudah mulai menerimaku sebagai anggota yang penting. Mereka mulai sering meminta pendapatku dan masukan-masukan dariku.

Ketua YAI, bernama Jeff. Umurnya sekitar 35an. Orangnya lumayan asik. Dia ini yang mulai sering berdiskusi denganku. Mungkin setelah melihat keberanianku pada aksi yang lalu, mereka mulai menghormatiku.

Tadi malam David menceritakan sebuah rahasia kepadaku. Ia cerita bahwa ia adalah anggota “Earth First”.

Organisasi ini sudah ku kenal sebelumnya. Earth First adalah sebuah organisasi pecinta alam yang
ekstrim. Mereka sering malakukan sabotase, pembakaran, dan peledakan pada pihak-pihak yang mereka anggap merusak lingkungan.

Pada saat kejadian 9/11, Earth First adalah salah satu organisasi yang dianggap terlarang. Sehingga mereka akhirnya membekukan kegiatan sehingga semuanya tenang. Pada dasarnya organisasi ini sudah terlarang, cuma tindakan pemerintah tidak begitu keras kepada mereka. Baru pada kejadian 9/11 para anggotanya diburu.

Begitu tau bahwa David adalah anggota 'EF'. Aku menjadi antusias. Ia malah lebih antusias lagi mengajakku menjadi anggota. Aku bilang aku setuju sekali menjadi anggota. Dia bilang bulan depan ada pelatihan anggota baru. Tapi ada persyaratan yang harus kupenuhi sebelum mengikuti pelatihan.
Aku bilang aku bersedia mengikuti semua persyaratan.
David tersenyum. Tapi senyumku lebih lebar.

3 Juni 2003
Rena bilang bahwa ujiannya berjalan dengan baik. Semua soal dijawab dengan benar. Dan uji bakat pun dia jalani dengan baik. Kemungkinan besar ia pasti di terima di IKJ. Aku senang sekali mendengarnya.
Sore David datang ke apartemenku. Kami mendiskusikan banyak hal. Ia menanyakan keseriusanku menjadi anggota “EF”. “There is no turning back” katanya. “Setelah kau menjadi anggota, kau akan dicari-cari pemerintah karena akan dituduh terlibat terorisme”. Aku bilang aku bersedia mengambil
resiko itu.

Dia bertanya kenapa. Aku jawab bahwa salah satu alasan mengapa aku lari ke Amerika adalah bahwa aku sempat memiliki 'masalah' dengan perusahaan perusak lingkungan. Dengan bergabung dengan “EF” sepertinya aku bisa akan belajar banyak tentang bagaimana cara melawan perusahan dan pabrikpabrik
seperti itu.

David sepertinya senang dengan alasanku. Aku juga rasanya bersemangat sekali. Hidup mapan selama beberapa bulan ini rasa-rasanya menumpulkan semangat pemberontakanku. Aku mencoba membakarnya dengan mengikuti
demonstrasi-demonstrasi lagi. Tapi sepertinya demo tidak menyediakan bahan bakar yang cukup. 

Aku harus mengikuti kegiatan yang lebih revolusioner. EF ini mungkin adalah jawabannya. 

20 Juni 2003
Sudah 2 mingguan aku tidak menulis catatan ini. Sibuk sekali. Parkour lagi repot-repotnya karena mereka sedang melakukan lomba. Lomba yang terlarang sebenarnya. Karena lomba ini tidak memiliki izin pemerintah setempat dan sangat berbahaya. Kami mengadakan lomba Parkour pada malam hari. Intinya adalah lomba siapa yang paling cepat sampai pada titik tertentu. Cuma karena ini melintasi banyak bangunan milik publik dan dilakukan pada malam hari. Lomba seperti ini tidak mungkin mendapat ijin dari pihak-pihak terkait.

Akhirnya kami melakukannya secara ilegal. Sesuatu yang ilegal seperti ini memang selalu menantang bagiku. Yang penting kami tidak merugikan orang lain, selain diri kami sendiri jika terjadi sesuatu.

Lomba ini sangat berbahaya, karena resikonya adalah nyawa. Untunglah semua berakhir baik, bahkan aku meraih juara 3. Sesuatu yang mengherankan bagi orang-orang, karena aku baru mengikuti kegiatan parkour ini selama beberapa bulan.

Melihat kemajuanku, teman-temanku banyak sekali yang senang. Aku juga senang. Hanya mereka tidak sadar bahwa aku merahasiakan sesuatu. Aku pun berusaha bersikp normal, namun sesungguhnya
mencoba menguatkan tubuhku.

Pulang ke rumah, aku langsung terkapar. Untunglah air hangat sangat membantu. Nafasku sudah memburu. Pandanganku bahkan sudah mulai kabur. Syukur semua berhasil kulewatkan dengan baik.


29 Juni 2003
Hari ini aku ingat sekali. Ini hari pertama aku bertemu Erika. Bagaimana kabar dia sekarang ya?
Suasana pagi ini memang hujan rintik-rintik. Semakin membuat hari ini terasa melankolis. Rasanya seperti males melakukan kegiatan apa-apa.
Aku ijin tidak masuk. Ingin menikmati kesendirianku sejenak. Ditemani teh susu, dan makanan enak.

5 Juli 2003
Kemaren perayaan kemerdekan Amerika. Meriah sekali. Aku hanya bertanya-tanya apakah mereka paham tentang kemerdekaan yang sesungguhnya. Betapa rakyat Amerika dibutakan oleh pemerintahnya sendiri. Pemerintahnya kini tidak lain adalah boneka dari perusahaan-perusahaan besar.

Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika tidak pernah berpihak pada rakyat kecil, dan hanya menyenangkan kaum pemilik modal.

Hal seperti ini bahkan lalu menyebar ke negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Kami menjadi budak dari kapitalisme global. Sistem di Indonesia sekarang adalah sistem liberal yang menganut patuh kepada kapitalisme. Pendidikan kami pun hanya menghasilkan budak dan penjilat. Tidak menghasilkan pemikir-pemikir cemerlang, dan pejuang-pejuang pemberani.

Sepertinya memang ada blueprint besar yang mengatur sehingga moral dan mental kami hancur sehancur-hancurnya. Aku mengakui ini sebenarnya adalh kesalahan-kesalahan para aktivis, termasuk aku. Kami terlalu bersemangat dalam meruntuhkan orde baru, sehingga kami lupa, kami tidak mempunyai sistem yang jelas dalam penyelenggaraan negara.

Saat para oportunis masuk, dan menunggangi gerakan ini, para aktivis yang jujur mulai tersingkirkan. Para oportunis mulai masuk dan mendirikan partai. Mereka lalu bahkan bisa menguasai sistem pemerintahan.

Kami seharusnya belajar dari pergerakan '65. Betapa aktivis-aktivis yang jujur dan tulus seperti Soe Hok Gie kemudian tersingkirkan oleh mereka-mereka yang mengaku pejuang, tetapi ternyata hanyalah oportunis sejati. Yang lapar melihat kue-kue kekuasaan.

Ada tugas besar bagi kami para pemuda. Terutama mereka yang mengaku aktivis '98. Kami harus secepatnya merebut kembali negara ini. Gerakan dan kordinasi harus secepatnya dilakukan. Kalau tidak negara akan semakin bergerak kepada jurang kehancuran.

Aku mengalami pertentangan batin yang hebat sekarang. Apakah aku harus menerima tawaran kuliah gratis ini?. Ataukah aku harus pulang ke Indonesia untuk menyusun pergerakan lagi. Tetapi melihat arah yang sekarang terjadi nampaknya menyusun pergerakan di Indonesia bukanlah pilihan yang bijaksana. Karena jika belajar dari sejarah, kami hanya akan mengganti diktator lama, dengan diktator yang baru.

Revolusi di Indonesia harus berbeda. Harus benar-benar menggugah. Dan tidak boleh menumpahkan darah mereka yang tidak berdosa. Dalam pikiranku memang sudah ada ide. Tapi aku belum berani memikirkan lebih jauh, karena diperlukan perhitungan-perhitungan yang matang. Jika pelatihan di “EF” ini sesuai dengan harapanku, maka mungkin aku akan memikirkan kembali ide ini.

Untuk sementara mungkin aku lebih baik kuliah dulu.


10 Juli 2003
Aku disibukkan dengan urusan pendaftaran kampus. Aku mengambil dua mata kuliah sekaligus di kampus yang berbeda. Sekarang ini aku selain tertarik dengan dunia kedokteran, aku juga tertarik dengan ilmu politik. Dulu sempat masuk fakultas hukum, tapi nampaknya menjadi semakin tidak menarik, karena kuliah hukum di Indonesia hanya belajar teori. Pada prakteknya semua hanya omong kosong. Belajar ilmu politik mungkin lebih menyenangkan karena dia dinamis dan sesuai jaman.


15 Juli 2003
Aku membekuk seorang maling tadi sore. Orang-orang tidak ada yang berani menangkapnya, padahal korbannya sudah berteriak-teriak. Ketika kebetulan ia lari ke arahku, aku menjatuhkannya dengan satu kali gerakan sekaligus merebut pistolnya.

Ketika orang-orang menggeledahnya, aku sudah hilang diantara kerumunan orang. Aku membawa lari pistolnya. Menurutku suatu saat pistol ini akan berguna. Pelurunya masih penuh.

17 Juli 2003
David mampir ke apartemenku. Aku bercerita kepadanya tentang kejadian dua hari yang lalu. Aku cerita bahwa aku merebut pistol si perampok. David kaget, tapi dia bilang dia sempat membaca cerita itu di koran lokal. Bahwa seorang perampok bersenjata api, telah dibekuk oleh seseorang di jalan.

Koran itu juga bercerita bahwa si perampok saat digeledah tidak membawa pistol. Aku menunjukkan pistol itu kepadanya, dan dia bilang supaya aku berhati-hati. Karena hukumannya berat jika memiliki senjata api tanpa ijin. Dia malah memintaku mengajarkan beberapa gerakan Aikido yang mungkin bisa berguna baginya. Aku menunjukkan beberapa gerakan yang berguna saat kita ditodong pisau atau pistol. Ia senang sekali.


20 Juli 2003
Persiapan menuju pelatihan EF. David memberitahukanku seperti apa pelatihan itu nanti. Ternyata kami akan melakukannya di Meksiko. Gila juga. Ini semua untuk menghindari kecurigaan aparat, berhubung EF adalah organisasi terlarang.

Pokoknya aku sendiri sudah siap moral dan mental. Apapun yang terjadi nanti, aku siap menghadapinya. Karena dari cerita David, pelatihan itu agak berat dan memakan waktu 2 mingguan lebih.


25 Juli 2003
Aku mengikuti tes masuk universitas melalui jalur khusus. Semua berjalan baik, dan aku bisa menjawab semua pertanyaan di lembar soal. Pulangnya mampir ke markas YAI.


1 Agustus 2003
Hasil ujian sudah keluar, dan aku diterima. Perasaanku biasa-biasa saja, karena aku sudah yakin bakalan diterima. Hari ini ulang tahun ayah. Rena semalam sudah 'berusaha' mengingkanku. Tetapi aku pura-pura tidak tahu. Rena memang sungkan berbicara tentang ayah kepadaku.

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada orang itu.


10 Agustus 2003
Chatting dengan Rena. Dia bahkan sudah melewati masa Ospek. Aku merasa bersalah tidak sempat chatting dengannya akhir-akhir ini. Tapi dari ceritanya, ia sedang bahagia. Berkenalan dengan salah seorang seniornya bernama Vyan.

Ia bertanya-tanya juga tentang Kira. Aku sendiri memang jarang bercerita tentang hubungan pribadiku kepada Rena. Entah kenapa tiba-tiba ia bertanya tentang Kira. Aku jadi teringat lagi. Sikapku terhadap Kira, rasanya buruk sekali.

Aku jarang mengunjunginya ketika kami berpacaran. Jarang mengajaknya keluar jalan-jalan. Aku terlalu disibukkan oleh kegiatan aktivisme ku. Hingga suatu saat aku memutuskan hubungan secara sepihak. Rasanya saat itu aku jauh lebih sakit. Hanya Kira mengira aku ini orang yang terlalu tega, dan tidak berperasaan.

Padahal aku mengambil langkah besar untuk memutuskan hubungan ini. Aku merasa tidak mampu membahagiakan dia. Jika nanti kami harus bersama seumur hidup, hari-harinya akan dihabiskan untuk bertanya-tanya menunggu apakah aku akan pulang dengan selamat ke rumah.

Keselamatan diriku sendiri memang tidak terlalu kupikirkan. Tetapi aku justru tidak tega membiarkan ia hidup dalam kegamangan karena kehidupanku yang 'tidak jelas' dan berbahaya ini. Aku hanya berharap dia mengerti.

Suatu hari aku mendengar ia sudah menikah. Aku turut berbahagia. Semoga keputusannya itu bukan karena emosi dan kemarahan terhadapku, malainkan ia benar-benar mencintai lelaki itu. Aku yakin ia jauh lebih berbahagia dengan orang lain daripada denganku. Dan aku akan sangat berbahagia, jika dia pun hidup bahagia.


14 Agustus 2003
Malam ini persiapan akhir untuk mengikuti pelatihan EF. Aku sudah siap lahir batin. Perbekalan dan uang sudah lengkap. Pakaian, dan peralatan camping juga sudah siap. David memintaku untuk tidak
membawa pistol. Tentu saja tidak kubawa.


15 Agustus 2003
Aku menulis catatan ini di dalam mobil van. Kami berangkat dalam beberapa rombongan. Ke Meksiko. Gila sekali. Ini pertama kali aku pergi ke Meksiko. Aku tidak tahu nama tempatnya apa. Yang kutahu hanya Meksiko.

Malam jam 9, akhirnya kami tiba di lokasi. Sebuah hutan rimba gelap gulita. Kalo kuhitung, mungkin ada sekitar 50 orang anggota pelatihan ini. Ditambah senior dan pelatih sekitar 15 orang.

Kami kemudian mendirikan kemah. Lalu kami semua dipersilahkan beristirahat.


16 Agustus 2003
Hari ini ulang tahunku. Semakin tua, dan belum ada pencapaian apapun. Biarlah. Semoga Tuhan punya rencana baik buatku.
Pelatihan sebentar lagi dimulai. Nampaknya kami akan dikumpulkan dalam barisan-barisan. Aku senang sekali. Yihawww.


17 Agustus 2003
Capek sekali. Ini saja aku mencuri-curi kesempatan menulis catatan ini seusai sholat subuh. Kemaren kami seharian melakukan kegiatan. Pada awalnya hanya sekedar materi pembuka, tentang sejarah Earth First. Tentang kegiatan-kegiatannya, dan lain-lain.

Lalu dilanjutkan dengan materi tentang alam. Seperti metode-metode pelestarian alam yang bisa kita lakukan sehari-hari. Setelah kegitan “bicara-bicara” ini selesai. Baru dilanjut dengan kegiatan alam. Meliputi lintas alam, pengetahuan dasar survival, dan lain-lain. Materi-materi semua pernah kudapatkan dalam pelatihan di Mapala kampus di Indonesia. Tetapi aku tetap menyimak saja. Memang tidak banyak pengetahuan baru. Namun setidaknya bisa sedikit merefresh memori yang dulu-dulu. Aku jadi ingat Kira lagi. Aku bertemu dengannya saat kegiatan seperti.
Beberapa anggota ada yang kecapaian mengikuti lintas alam yang berat ini. Mungkin mereka belum pernah mengikuti kegiatan seperti ini. Tetapi rata-rata mereka semangat sekali. Walaupun stamina mereka kepayahan.

Kegiatan lintas alam yang diselingi materi-materi ini berlangsung sampai sore menjelang malam. Aku tidak banyak mencatat karena sebagian besar materinya sudah kukuasai dengan baik.

Malam kami berkumpul di api anggun. Sekedar sharing tentang apa yang sudah kami jalani satu hari ini. Banyak yang mengaku kepayahan, tapi excited. Aku tidak banyak berbicara, dan lebih menghabiskan waktu untuk mnikmati suasana api unggun seperti ini. Suasana alam yang tadi kami lalui indah sekali. Bahkan kami camping dipinggir sebuah sungai yang jernih sekali. 

Aku walaupun tidak begitu suka berenang dan mandi, tergiur juga untuk cebar-cebur melihat air sesegar itu.
Sebentar lagi jam 6. Aku harus bersiap-siap memulai kegiatan hari ini


18 Agustus 2003
Kemarin kami benar-benar langsung mempraktekkan apa yang sudah diajarkan hari sebelumnya. Kami dilepas di hutan tanpa peralatan, dan lain-lain. Kami diharuskan tinggal disitu sampai malam, lalu mencari jalan pulang ke perkemahan. Seru juga. Tapi materi seperti ini adalah makananku sehari-hari.
Aku hanya berusaha menolong peserta lain, jika mereka menemui kesulitan.

Kesulitan mereka hanya makanan. Selama ini mereka belum pernah makan serangga, ular, atau hewan-hewan menjijikan lainnya. Akhirnya mereka makan juga karena kelaparan. Apalagi mereka melihat bahwa aku sempat membuat masakan ala kadarnya. Baunya yang harum membuat selera mereka tergiur. Menu hari itu? Telur ular bakar setengah matang, yang disiram diatas daging kalajengking panggang. Delicious.

Malam hari kami sudah sampai di camp. Kami di larang mandi dan di haruskan langsung tidur. Mungkin maksudnya supaya kami membiasakan diri untuk menjalani kehidupan alam yang keras.


19 Agustus 2003
Aku semangat sekali menjalani pelatihan kemaren. Kami diajarkan membuat peledak dari alat-alat sehari-hari. Seperti bahan-bahan dapur, dan bahan-bahan bengkel. Dari sebuah mobil kami sebenarnya bisa membuat bom. Aku baru tahu itu.

Kemarin kami diajarkan membuat bom dari pupuk yang dicampur dengan beberapa bahan dapur. Hasil ledakannya cukup signifikan. Aku menghapal betul cara-cara pembuatannya. Karena jika salah hasilnya adalah bunuh diri.

Banyak sekali pelajaran yang kudapatkan kemarin. Dan kuingat semuanya. Satupun tidak terlupa.


20 Agustus 2003
Aku menulis catatan ini di dalam van lagi. Entah kami dipindahkan kemana. Kata David ini bagian terberat dari camp. Menarik juga.

Malam kami sampai di tempat tujuan. Dan sangat-sangat mengagetkanku. Kami sampai di sebuah hutan di Chiapas. Chiapas adalah daerah pusat pemberontak Meksiko bernama EZLN. Aku kaget sekali ternyata Earth First bekerja sama dengan EZLN untuk membuat pelatihan semacam ini. Pantas saja biaya pendaftarannya cukup mahal. Tapi membayar berkali-kali lipat pun aku mau asal mendapatakan kesempatan seperti ini.

Aku memperhatikan sekeliling. Ternyata sesuai dengan berita yang ku tahu selama ini. Semua anggota Chiapas menggunakan topeng. Sejenis topeng ski. Ada perempuannya juga cukup banyak. Mereka semua berbahasa spanyol, dan hanya beberapa yang berbahasa Inggris.

Kami bertemu dengan pemimpin kamp EZLN itu. Dengan menggunakan bahasa inggris yang patahpatah, ia megucapkan selamat datang kepada kami. Ia memanggil kami sebagai 'Comerad'. Atau 'kawan perjuangan'. Bangga juga disebut begitu oleh salah seorang petinggi EZLN.


21 Agustus 2003
Aku bangun pagi-pagi sekali. Menikmati udara segar hutan Chiapas. Banyak orang yang berjaga-jaga di posnya. Menurut tebakanku. Kami akan dilatih secara militer disini. Makanya aku sudah siap-siap dari awal. Beberapa peserta lain masih tidur. Aku membangunkan beberapa peserta. Tapi mereka lebih suka tidur. Aku tersenyum saja dan menungu-nunggu sambil menulis catatan harian ini.


23 Agustus 2003
Berat sekali. Aku bahkan tidak sempat menulis catatan harian. Kami benar-benar dilatih secara militer. Pagi-pagi sudah dibangunkan dengan tembakan senjata ke udara. Kami menjalani latihan dasar militer.

Baris berbaris. Halang rintang. Aku menjalaninya dengan baik. Namun penyakitku nampaknya mulai kambuh, dan aku mulai tersengal-sengal. Sehingga aku tidak bisa menjalani drill ini dengan baik.

Kami juga diajarkan cara menggunakan senjata. Senjata-senjata umum seperti pistol Revolver, FN, M-16 dan AK 47. Walaupun ayahku tentara, aku belum pernah memegang senjata seperti ini. Setelah mengerti materi dasar tentang penggunaan senjata, kami diajari menembak.

Senang juga menembak untuk pertama kali. Pertama kami diajari menembak dalam posisi diam. Lalu menembak dalam posisi bergerak. Juga cara-cara membawa senjata dalam keadaan halang rintang.

Pokoknya semua latihan dasar militer kami jalani selama 3 hari ini. Banyak yang pingsan karena tidak kuat. Aku saja sudah hampir pingsan karena serangan penyakitku. Untung saja aku menguatkan diri
terus. Tapi aku tidak yakin berapa lama lagi aku akan bertahan.


29 Agustus 2003
Kami menjalani pelatihan militer selama satu minggu penuh. Kami bahkan sudah mempraktekkan cara menggunakan granat, dan bom serta ranjau. Minggu ini, kami akan belajar cara peperangan di dalam kota. Karena minggu lali kami sudah belajar perang gerilya di hutan.

Dasar-dasar perang gerilya sebenarnya pernah kubaca dari buku karangan che Guevara dan jendral AH Nasution. Tetapi mempraktekkannya baru sekarang ini. Materi minggu ini adalah Urban Guerilla, atau gerilya kota. So interseting.


6 September 2003
Materi urban guerilla akhirnya selesai juga. EZLN ternyata memiliki sebuah tempat latihan yang sangat lengkap. Mereka membuat sebuah tempat yang mirip dengan suasana kota, yang mereka pakai sebagai tempat latihan. Aku kagum sekali dengan kesigapan dan keprofesionalan mereka. Padahal kebanyakan anggota EZLN ini adalah pemuda-pemuda kampung, dan perkotaan. Kebanyakan dari mereka tidak berasal dari latar belakang ketentaraan. Bisa membuat pasukan seperti EZLN ini, memang adalah suatu
prestasi besar bagi pemimpinnya.

Aku mendapat nilai terbaik ke empat dalam kamp militer ini. Lumayanlah. Melihat kondisi kesehatanku, rasanya itu memang pencapaian yang luar biasa. Malam ini kami diberikan jamuan makan di api anggun. Enak sekali mereka membakar babi hutan. Aku tidak memakannya, dan memilih memakan jagung bakar dengan bumbu pedas. Nikmat sekali.


7 September 2003
Pagi-pagi sekali kami sudah dikumpulkan. Ternyata kami kedatangan salah satu pemimpin utama EZLN, yaitu Subcommandante Marcos. Orangnya tinggi besar. Dari matanya aku bisa merasakan api semangat yang sangat membara. Pidatonya menggunakan bahasa spanyol. Aku sedikit-demi sedikit sudah bisa berbahasa spanyol. Hasil interaksiku dengan pejuang-pejuang EZLN dan penduduk setempat.

Aku kagum sekali melihat Subcommandante Marcos. Gagah sekali, dan memang pantas menjadi pemimpin. Wajahnya tetap tertutup topeng ski, tetapi pipa rokok tidak pernah lepas dari mulutnya.

Nampaknya semua orang di hutan Chiapas ini memang merokok.
Inti pidato Subcomandante Mrcos ini adalah bahwa ia menaruh harapan besar diatas pundak pemudapemuda Amerika ini. Pemuda-pemuda yang memiliki jalan pikiran revolusioner yang mampu merubah Amerika. Ia berharap semoga dengan adanya pelatihan ini, membuat kami semakin tangguh dalam perlawanan dan aksi kami.

Selesai berpidato, ia tidak langsung pulang namun bercakap-cakap dengan anak buahnya, beberapa senior Earth First, bahkan juga mengajak peserta kamp ngobrol. Aku tidak melewatkan kesempatan ini.

Aku memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia yang lari ke Amerika karena dikejar-kejar antek-antek pemerintah. Matanya berkilat-kilat memandangku, aku sampai terharu sekali. Ia bertanya, “Kamerad, apa yang kau lakukan sampai kau dikejar-kejar pemerintah?”

Aku menjawab bahwa aku menggalang aksi mengecam kematian penduduk sebuah desa yang musnah karena limbah pabrik. Pabrik itu akhirnya ditutup, padahal pabrik itu milik konglomerat yang menguasai sebuah partai politik kuat di indonesia. Para aktivis yang terlibat dengan aksi itu banyak yang mati terbunuh secara misterius.

Subcomandante Marcos berkata bahwa ia pernah mendengar cerita itu. Aku kaget sekali rupanya wawasannya sangat luas, bahkan tau dengan kejadian di Indonesia. Ia berkata bahwa, aku bisa selamat dari pembunuhan itu adalah takdir. Bahwa aku ditakdirkan untuk melakukan sesuatu bagi bangsa Indonesia.
“Semua yang terjadi padamu adalah takdir. Takdir pula yang mempertemukan kita seperti ini. Kau harus membebaskan Indonesia. Itulah takdir terbesarmu”
Aku menetaskan airmata mendengar kata-katanya. Pelan dan sopan. Tidak berapi-api. Tapi masuk dan merasuki jiwaku. Ia menatapku dalam-dalam dan menyentuh pundakku. “Ingat. Tierra Y Libertad” .

Ia kemudian meminta diri dan pergi dari kamp itu. Kedatangannya hanya beberapa lama, tapi rasa-rasanya ia meninggalkan sesuatu di dalam diriku yang tidak pernah ku lupakan.

Seandainya aku harus memberikan nyawa pun, aku rela agar bisa bercakap-cakap dengannya lagi.



9 September 2003
Kami akhirnya sampai kembali ke Amerika dengan selamat. Aku pun sampai di apartemenku dengan tidak kurang suatu apapun. Setelah mandi, aku memilih tidur dan beristirahat. Pengelaman 2 minggu lebih ini telah menambah sesuatu dalam diriku. Ide tentang pembebasan Indonesia telah muncul di
benakku dalam bentuknya yang utuh.

Hari ini, detik ini, aku akan menyerahkan hidupku demi revolusi Indonesia baru.


10 September 2003
Pagi-pagi sekali aku sudah ke kampus. Sudah seminggu aku tidak masuk. Padahal itu minggu pertama kuliah. Aku bertemu dengan bagian administrasi dan mengatakan bahwa aku sakit. Penampilanku yang gondrong dengan jenggot tak terurus serta wajah yang kuyu kelalahan, sepertinya lumayan meyakinkan. Untunglah minggu pertama hanya berupa pengenalan kampus.

Hari ini sudah ada mata kuliah di fakultas kedokteran. Aku bertanya-tanya dan mencari kenalan dengan bebarapa mahasiswa di sana. Penampilanku yang lusuh ini sepertinya membuat mereka sedikit risih.

Saat pelajaran, aku banyak menjawab sana-sini, membuat sang dosen mempunyai pandangan yang baik terhadapku. Memang, bagi orang Amerika, kesan pertama sangat penting. Aku berusaha menampilkan kesan yang baik dan bersahabat.

Pulang dari kampus aku mengajar private di rumah salah seorang muridku. Tempatnya lumayan jauh. Tapi berhubung aku tau orang tuanya salah satu orang penting di kampusku, kuambil saja tawaran mengajar ini. Ternyata muridku itu lumayan cerdas.

Selesai mengajar aku mampir ke markas YAI. David ada disana. Ini hari pertama kami bertemu setelah berpisah dari kamp. Dia tampak bersemangat sekali. Karena sudah kemalaman aku menginap di markas.


17 September 2003
Seminggu ini hanya kegiatan kuliah, mengajar, dan latihan parkour. Kesehatanku lumayan membaik. Latihan-latihan parkour kulahap semua. Di taman smpat kulihat ada yang latihan Capoeira. Di Indonesia aku aktif sekali ikut bela diri ini. Suatu saat aku pengen coba-coba lagi ikut latihan. Kemampuan main pianoku berkurang jauh. Sepertinya aku harus beli sebuah piano. Mungkin sebuah baby grand masih cocok untuk kantongku. Uang tabunganku masih lumayan, alhamdulillah ini karena aku mendapat beasiswa penuh dari kampus. Sedangkan di kampus satunya lagi, aku harus membayar penuh. Tidak apa.


18 September 2003
Tadi malam aku mampir ke toko musik, menanyakan harga sebuah baby grand. Mahal juga. Untung saja ada yang bekas. Setelah ku periksa ternyata masih bagus. Tuts-tutsnya juga masih halus dan belum ada yang fales. Hari ini rencananya aku mau ambil uang untum membayar baby grand itu.

Ini baru abis pulang dari Parkour. Langsung menuju toko musik. Bayar dan kasih alamat. Ternyata ada jasa pengantar juga, walaupun aku harus nambah sedikit biayanya.

Pianonya ternyata enak juga. Lumayan untuk melatih lagi jari-jariku. Aku tak pernah berlatih piano dengan serius akhir-akhir ini. Hanya pada saat di kursusan dulu aku bisa latihan. Setelah dipecat, sudah tak bisa lagi.


25 September 2003
Sibuk sekali. Materi kuliah ternyata gila-gilaan. Aku tidak menyangka akan seribet ini. Terpaksa ada mata kuliah yang ku cancel, dan akan ku ganti di semester pendek nanti. Mudah-mudahan bisa. Mata kuliah kedokteran sendiri sebenarnya sudah pernah ku pelajari semua. Jadi semua tugas-tugasnya bisa
ku kerjakan dengan baik, saat latihan parkour atau pas rapat di markas YAI.

Sekarang ini YAI lagi mau bikin aksi lagi. Aku diminta berkordinasi dengan LSM lain. Kesempatan ini akan kugunakan untuk menambah link-link baru. Asik juga. Sebenarnya di kampus ada juga pergerakan seperti ini, cuma rasanya tidak terlalu serius. Paling hanya masalah student government.

Aku sudah tidak tertarik lagi mengurusinya. Bagiku kini pergerakan harus massive dan menyeluruh. Skala nasional kalau bisa. Rencana-rencana jangka pendek YAI sepertinya menarik.

1 Oktober 2003
Pagi begini pastinya sudah ada upacara bendera di sekolah-sekolah saat jaman orde baru dulu. Rindu juga suasana baris berbaris di SD dulu. Lama tidak chatting dengan Rena. Kangen sama anak usil satu itu. Mungkin lagi sibuk pacaran.


4 Oktober 2003
Dapat balasan email dari Rena. Sinetronnya diperpanjang lagi. Kayaknya memang lagi ngetop disana. Kasihan sekali rakyat Indonesia dicekoki sinetron-sinetron yang tidak mendidik. Aku sebenarnya harus membicarakan ini dengan Rena. Tapi masih menunggu saat yang tepat.

Kegiatan kampus mulai ramai. Aku mendapat banyak teman baru. Ada juga yang cantik namanya Pamela. Seksi sekali kalo pake baju. Kadang-kadang mata ini rasanya tidak mau beranjak melihatnya. Aku ada juga kenal sama mahasiswi yang baik, namanya Lizzy. Dari nama Elizabeth.Dia ini suka memperhatikanku dan mengingatkanku tentang tugas-tugas kuliah.

Kalau teman mahasiswa, ada yang kulit hitam. Namanya Malcolm. Katanya namanya diambil dari Malcolm X. Dia lumayan pinter di kelas. Aku banyak mendapat gambaran tentang kehidupan kulit hitam di Amerika dari dia. Dari gaya ngomongnya rasa-rasanya dia ini seorang aktivis juga. Beberapa hari belakangan aku menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan dia.


8 Oktober 2003
Hari ini lumayan banyak kegiatan. Aku sekarang mulai ikut-ikutan Lizzy mengurusi pers kampus. Aku dulu tidak begitu tertarik dengan kegiatan jurnalistik, karena bagiku menghabiskan banyak waktu. Saat ini pun aku hanya menemani Lizzy. Dia terdaftar sebagai anggota baru dari extra kurikuler pers yang ada di kampus. Aku sering menemani dia saat diberi tugas membuat liputan-liputan kecil tentang kampus. Kadang-kadang Malcolm ikut juga.


12 Oktober 2003
Rena memberi kabar, bahwa dia sudah tau posisi Erika. Aku dulu memang sempat cerita-cerita sedikit tentang Erika. Katanya dia mengetahui tentang Erika dari seorang teman kuliahnya. Teman kuliahnya itu dulu adalah kakak kelasnya Erika. Aku bilang dari mana dia tau bahwa Erika itu yang kumaksud. Rena bilang rahasia. Kata Rena posisi

Erika sekarang berada di Malang. Beberapa bulan yang lalu terjadi tragedi pada keluarganya. Ayahnya terbunuh dalam suatu kerusuhan.

Aku kaget sekali mendengar hal ini. Rena tidak tahu alamat pastinya, namun ia berjanji akan mencari tahu. Aku terhenyak mendengar berita ini. Begitu sulit untuk dipercaya. Tak terasa air mata ku tumpah.

Dalam hati aku berjanji untuk mengusut tuntas kasus ini.


15 Oktober 2003
Kegiatan pers kampus dengan Lizzy sangat menarik. Aku baru merasa kegiatan ini hampir sama dengan kegiatan menjadi detektif. Mencari data, mengumpulkan data, menganalisa data, dan mempublikasikannya kepada publik.

Aku rasa ini akan sangat bermanfaat ke depan. Selama ini metode pengumpulan dataku amburadul. Walaupun aku kuat dalam hal observasi, aku pikir tidak ada salahnya aku belajar disiplin dan detail dalam pengumpulan data. Hasil deduksi akhir yang dihasilkan pasti akan lebih baik. Kali ini kami mengusut kasus jual beli nilai. Hal yang jarang ada di Amerika, tapi herannya terjadi juga. Lizzy memintaku mewawancarai beberapa mahasiswa.


19 Oktober 2003
Seseorang menyisipkan surat ancaman ke locker ku. Isinya mengancam agar aku tidak coba-coba mengusut kasus jual beli nilai ini. Aku tersenyum saja, tapi dalam hati aku merasa harus lebih berhathati.

Yang aku takutkan jika Lizzy juga menerima ancaman yang sama, dan akan menjadi paranoid. Tapi ternyata setelah aku ketemu dengannya, dia menanggapinya dengan santai.


23 Oktober 2003
Beberapa lama ini aku tidak latihan Parkour. Saat datang aku disambut dengan hangat. Ada banyak anggota baru juga. Lama tidak latihan membuat badanku agak kaku. Apalagi sekarang ada latihan gaya baru. Kami disuruh bergerak dangan menggunakan beban, seperti tas ransel atau apa aja. Bagus juga nih idenya.

Pulangnya aku ke markas YAI. Aku bercerita sedang mengusut masalah jual beli nilai. Mereka mendukungku dan menwarkan bantuan jika aku membutuhkan. Aku tidak cerita mengenai surat ancaman.


30 Oktober 2003
Seorang orangtua murid piano ku meminta aku mengarang lagu untuk anaknya. Anaknya ini sejenis artis cilik yang sedang menapaki karir menyanyinya. Akhirnya malam ini aku membuatkan lagu dan merekamnya di komputer. Ini saat pertama kali aku menggunakan software untuk merekam lagu.

Lumayan seru.


2 November 2003
Ancaman semakin sering datang. Kali ini malah ada orang yang menyirami pintu lockerku dengan darah. Dugaanku sih itu darah ayam. Berani juga dia. Lizzy sudah mulai khawatir, tapi dia bilang dia ingin meneruskan liputan ini. “Truth will prevail” katanya. Aku kagum sekali dengan keberaniannya.
Jarang ada cewek yang kuat dan pemberani seperti ini. Mengingatkanku kepada Erika.


5 November 2003
Hari ini ulang tahun Pamela. Dia merayakannya di sebuah kafe mewah. Memang hanya duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol saja. Herannya aku diundang juga. Padahal selama ini aku gak begitu akrab.

Walaupun risih berada di tempat borjuis dan hedonis seperti ini, aku mencoba bersikap biasa saja.


10 November 2003
Hari Pahlawan. Entah apakah masih dirayakan di Indonesia. Aku yakin gaungnya telah hilang. Aku jadi ingat Bung Tomo. Tokoh kemerdekaan yang sangat kukagumi. Kelurusannya, keberaniannya, dan semangatnya. Jika ada seorang Bung Tomo yang hidup di jaman sekarang, aku yakin Indonesia akan
jauh lebih baik.

Saat ini aku mempertanyakan makna kepahlawanan. Apakah kepahlawanan itu erat dengan sejarah? Mengapa sangat sedikit orang yang bisa disebut pahlawanan. Sedangkan gelombang perlawanan terjadi dimana-mana?

Mengapa di saat seseorang dianggap pahlawan, di saat yang sama banyak pula orang yang membencinya. Bukankah itu menandakan bahwa kepahlawanan seseorang sebenarnya mungkin tidak terletak pada perbuatannya. Tapi justru karena image yang tercipta.

Ambil contoh Robin Hood. Bagi rakyat jelata, dia adalah pahlawan. Tapi bagi kaum kaya dia adalah perampok. Aatau juga tokoh Chu Liuxiang karya Gu Long. Dia ini mirip-mirip Robin Hood. Banyak sekali orang yang meminta bantuannya, tapi tidak sedikit juga yang menganggapnya bajingan.

Tokoh seperti ini dalam dunia nyata, ada juga. Che Guevara contohnya. Bagi rakyat Kuba yang dibebaskan, ia adalah pahlawan sepanjang masa. Bahkan dunia pun mengakuinya. Tapi bagi kaum borjuis Kuba, Che adalah penjahat besar yang harus membuat mereka lari tunggang langgang meninggalkan semua harta kekayaan mereka.

Aku? Aku ingin menjadi pahlawan semua orang. Tapi jika harus memilih, aku memilih untuk bersama-sama orang yang tertindas.


11 November 2003
Semangat hari pahlawan nampaknya terbawa-bawa hari ini. Aku sudah bosan dengan segala surat ancaman. Hari ini aku pengen berkelahi.


15 November 2003
Segala data sudah kami punyai. Tersangka dan saksi pun sudah ada. Aku dan Lizzy sepakat untuk merahasiakan saksi-saksi itu. Tersangkanya adalah seorang dosen. Yang membuat berat, adalah bahwa
si dosen ini adalah favorit mahasiswa. Cara mengajarnya enak. Punya hubungan baik dan sangat akrab dengan mahasiswa. Namanya Mr Larry Mcaty.
Yang membuat penasaran adalah aku belum menemukan siapa yang mengancamku dan Lizzy. Bisa saja si Larry ini. Tapi bisa aja mahasiwa-mahasiwa yang membeli nilai darinya, yang takut akan dikeluarkan dari sini.
Untuk Universitas sebesar dan seterkenal ini, kasus seperti ini adalah pencorengan kehormatan. Tapi aku bersikeras bahwa skandal ini harus dibuka.


17 November 2003
Pak Dekan memanggilku dan Lizzy. Ia bilang ia sudah dengar bahwa kami siap mencetak berita tentang skandal jual beli nilai ini. Ia bertanya apakah data-dataku valid, dan apakah kami punya saksi-saksi, seandainya kasus ini dibawa ke pengadilan.

Kami bilang bahwa kami paham dengan jurnalistik, dan tidak meungkin mencetak sesuatu sebelum itu memenuhi segala unsur jurnalisme.
Dia bilang dia kagum dengan kerja kami, tapi dia bilang kami harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama nama baik kampus sendiri. Sejak dulu aku sudah sering dihadapkan dengan hal-hal seperti ini. Nama baik orang dan lain-lain. Aku berpegang teguh bahwa nama baik seseorang lahir dari
perbuatan baiknya. Bukan dari perbuatan buruk yang ditutupi.

Pak dekan bilang bahwa tidak ada seorang pun yang lepas dari perbuatan buruk. Semua orang pernah. Dia bertanya apakah aku sendiri belum pernah melakukan perbuatan buruk. Aku bilang aku pernah dan sering melakukan perbuatan buruk. Tetapi AKU TIDAK MENUTUPI perbuatan itu dengan cara membungkam orang lain, atau melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menutupinya.

Si dekan ini diam cukup lama, ia mangangguk-angguk, lalu meminta kami keluar ruangannya. Aku tak tahu apa maksud anggukannya.


19 November 2003
Kami akhirnya mencetak berita itu. Dan seperti yang aku duga, menciptakan kehebohan besar. Aku dan Lizzy dipanggil langsung oleh rektor. Ia menanyakan validitas data-data kami. Untunglah aku dan Lizzy sudah siap dengan semua bukti. Si Rektor sempat memarah-marahi kami sebentar. Tapi dia bilang dia akan mempelajari data-data ini dulu.

Di seluruh kampus, orang memandang kami dengan pandangan berbeda. Ada yang memandangi kami dengan penuh kebencian. Ada yang memandangi kami penuh rasa terima kasih. Tapi sorot mata kebencian, jauh lebih banyak. Nampaknya mereka lebih suka menjaga nama baik kampus, daripada menerima kebenaran.

Memang aku dan Lizzy adalah mahasiwa semester awal. Melakukan hal seheboh ini jelas menimbulkan cibiran tersendiri. Aku sudah sempat membahas ini dengan Lizzy, tapi dia bilang dia akan bersikeras mengungkap ini bukan demi apa-apa, tapi semata-mata demi kebenaran. Aku kagum sekali.


20 November 2003
Seorang mahasiwa mendatangiku ketika aku makan di kantin. Ia bilang ia ingin menghajar mulutku. Sudah kuduga ia pasti korban tulisan kami itu. Aku bilang silahkan saja. Anytime, anywhere. Memang sudah lama aku ingin berkelahi. Mungkin saja anak ini yang sering mengirim surat ancaman. Dia hanya duduk di depanku, memandangku makan. Aku makan dengan santai. Tapi dalam hati, aku berpikir bagaimana cara menjatuhkan dia. Seingatku nama orang ini Mark Weirbe. Tinggi besar. Dan seingatku dia itu atlet footbal kampus. Aku berfikir melumpuhkan orang sebesar ini butuh waktu lama jika nekad terus melawan.

Selesai makan, kutanya ia ingin berkelahi di mana? Ia bilang lebih baik kita ke ruang olahraga. Ku ikuti saja ia dari belakang. Menaksir-naksir kira-kira apa yang harus ku lakukan untuk menjatuhkannya secepat mungkin.

Orang sebesar ini punya rasa percaya diri yang besar juga. Ia yakin ia punya kekuatan fisik besar. Oleh karena itu aku tidak boleh bertarung lama, karena selain kalah stamina, bisa-bisa aku yang dijatuhkannya.

Saat itu ruang olahraga sedang sepi. Setelah melepas baju luarnya, kami siap bertarung. Yang aku ingat, tubuhnya penuh otot. Ia yang melayangkan serangan pertama kali. Sebuah tinju yang sangat cepat, dan juga terlihat berat. Sebuah uppercut ke arah perutku. Aku mundur sambil menangkis.

Dengan tangkisan aku bisa mengira-ngira sekuat apa pukulannya. Ternyata kuat juga. Pukulan keduanya datang dari tangan kirinya. Kali ini sebuah straight. Aku bergerak maju. Aku tahu dia kaget karena mengira aku akan mundur. Jarak kami semakin dekat, dan lututku sudah menusuk ulu hatinya. Aku mendengar ia mengeluarkan suara seperti babi.

Aku mundur lagi dan melihat hasil seranganku. Ia tampaknya menahan sakit. Dari sini aku tahu, aku bisa menjatuhkannya dengan sekali pukul lagi. Sekarang sepertinya ia tidak seagresif serangan pertamanya. Ia lebih memilih menunggu.

Aku menipunya dengan melakukan serangan tipuan berupa pukulan ke wajah. Ketika ia menutup wajah, pukulanku ku ganti dengan sebuah tendangan tepat di selangkangannya. Kali ini suara seperti babi itu terdengar jauh lebih keras dan dia jatuh memegang selangkangannya.

Ia meringis kesakitan, dan aku bilang, Kapan saja kamu ingin bertarung aku selalu siap. Aku meninggalkannya di ruang olahraga. Sepertinya dia akan kesakitan saat kencing dalam beberapa hari ke depan.


21 November 2003
Si dosen bermasalah, Larry Mcathy tiba-tiba mendatangiku. Dengan wajah muram dan menahan amarah. Ia bertanya apakah aku bersedia datang ke rumahnya. Aku bilang bersedia. Bahkan sore ini sepulang kuliah pun aku bersedia mendatangi rumahnya. Dia bilang dia akan menunggu.

Sore itu aku pergi ke rumahnya. pak Larry tadi sudah memberikanku alamat rumahnya. Tidak terlalu jauh dari kampus. Aku memasuki pekarangan rumahnya dengan perasaan yang bercampur aduk.

Rumah ini terlihat lama tidak terawat.

Setelah mengetuk pintu sebentar, pak Larry keluar dan membukakan pintu. Ia tersenyum. Aku kaget juga. Kupikir dia akan menemuiku dengan wajah penuh emosi seperti tadi. “Ayo ikut ke atas”. Aku tidak tahu ia akan membawaku ke mana. Tapi aku sudah bersiap-siap seandainya dia mau melakukan hal-hal bodoh.

Aku memasuki sebuah pintu kamar. Di dalam kamar itu, seseorang sedang berbaring di tempat tidur. “Perkenalkan ini, Cindy, istriku” kata pak Larry .
Mrs. Cindy Mcathy terbaring lemah diatas tempat tidur. Tubuhnya kurus sekali. 

Aku seperti bukan melihat manusia, melainkan melihat tengkorak yang dibungkus kulit manusia. Sebisa mungkin aku menahan perasaan. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya senyum yang bisa kulakukan. Sang istri itu
membalasnya dengan senyum yang sangat lemah.

“Sayang, ini mahasiswaku dari kampus, ia datang untuk memberi salam kepadamu” kata pak Larry dengan penuh perhatian kepada istrinya. Istrinya itu “terlihat” seperti mengangguk. Dan kembali tersenyum. Dari mulutnya terdengar kata-kata yang lirih “Thank You”. Lalu ia kembali memejamkan mata.

Pak Larry mengajakku keluar. Kami lalu duduk di ruang tamunya. Ia bertanya, apakah aku sudah mengerti alasan mengapa ada kasus jual beli nilai. Istrinya yang terbaring lemah itulah alasannya. Aku hanya terdiam.

Ia bercerita bahwa istrinya terkena AIDS. Dan walaupun orang barat punya pola pikir yang terbuka, mereka masih belum terlalu menerima ada pengidap AIDS yang tinggal di antara mereka. Karena itulah pak Larry merahasiakan penyakit istrinya. Ia sudah mencoba berbagai pengobatan. Sampai akhirnya pihak asuransi kesehatan menolak untuk menangung istrinya lagi.

Selama itu pak Larry mencari uang secara swadaya. Aapapun dia lakukan. Termasuk jual beli nilai itu. Aku merasa perbuatan jual beli nilai itu tidak bisa diterima secara moral. Tetapi secara hati nurani, jika kita melihat keadaan pak Larry, hal itu sepertinya bisa dimaafkan.

Aku berdiskusi lama dengan beliau. Dan hasilnya, aku kembali mempertanyakan segala pemahaman ideologis yang kupegang selama ini. Betapa aku begitu buta dengan kenyataan di sekitarku. Dan hanya memandang dunia dari sudut pandang moralitasku belaka.

Hari ini aku pulang dengan air mata.


28 November 2003
Beberapa hari ini aku sering mengunjungi rumah pak Larry. Sekedar membantunya menjaga istrinya. Hanya ada seorang pembantu yang datang pagi dan pulang sore yang merawat istri pak Larry. Kadang-kadang jika tidak ada jadwal kuliah aku malah menjadi 'perawat' bu Cindy ini.

Kalau sedang sakit banget, bu Cindy hanya bisa mengerang kesakitan. Hatiku terasa pedih sekali melihat penderitaannya. Tapi jika sedang 'kuat' kadang-kadang ia bercerita. Walaupun suaranya sedikit kurang jelas, aku bisa menangkap maksud kata-katanya.

Ternyata bu Cindy ini terkena AIDS melalui hubungan seks. Aku heran ia bercerita segamblang ini padaku. Dulu bu Cindy pernah cerai dan meninggalkan pak Larry. Ia pergi bersama laki-laki lain.

Ternyata laki-laki itu adalah seorang penakluk wanita yang berhasil mencuri hati bu Cindy. Tapi kisah cinta mereka berakhir setelah si penakluk itu mencampakkan bu Cindy.

Dan yang lebih tragis lagi, bu Cindy tertular AIDS darinya. Setelah kejadian ini, tidak ada seorang pun yang merawat dan mengurus bu Cindy ini. Lalu pak Larry muncul kembali. Menawarkan bu Cindy untuk kembali kepadanya. Pak Larry tidak perduli dengan statusnya yang mengidap AIDS. Dan dengan besar hati merawat bu Cindy sampai sekarang.

Aku duduk diam terhenyak, melihat pengorbanan cinta yang begitu besar. Alangkah bahagianya bu Cindy menemukan orang cinta setulus, sedalam, dan seikhlas itu. Dan alangkah bahagianya pak Larry mampu memberikan cinta seperti ini.

Kedua orang ini, dibalik nasibnya yang buruk, sebenarnya adalah orang-orang yang beruntung. Mereka melewati segala macam hal. Tapi toh tetap cinta yang menyatukan mereka. Di dunia ini, jika aku bisa merasakan hal seperti ini, rasa-rasanya hidup menderita ribuan kali dari ini pun tidak apa-apa.

Saat engkau sakit, ada yang memegang tanganmu. 
Saat engkau jatuh, ada yang mengangkatmu. 
Saat engkau hilang, ada yang menemukanmu. 
Saat engkau pergi, ada yang menunggumu. 
Saat engkau berdoa, ada yang berlutut bersamamu. 
Saat dalam gelap, ada yang menuntunmu. 
Saat engkau sekarat,
ada yang memelukmu...

30 November 2003
Pak Larry akhirnya dipecat. Mendengar kabar ini segala macam perasaan berkecamuk di hatiku. Lizzy sama sekali tidak tahu keadaan istri pak Larry. Aku sengaja tidak memberitahukannya karena aku takut dia akan merasa bersalah, sama dengan yang ku rasakan juga.

Aku pergi ke rumah pak Larry dan mencoba berbicara dengannya. Ia menerima semuanya dengan ikhlas. Dia bilang memang kasus jual beli nilai adalah sebuah kesalahan, dan dia sudah membayar lunas kesalahan itu dengan pemecatan dirinya. Dia bilang dengan begitu dia bisa lebih punya banyak
waktu untuk mengurus istrinya.

Saat ini, rasanya saat yang paling kelam.


3 Desember 2003
Aku mendapat telpon dari pak Larry bahwa istrinya meninggal dunia. Segera aku bergegas pergi ke rumahnya. Ternyata rumahnya masih sepi-sepi saja. Tidak ada keramaian orang mengurusi pemakaman. Aku bertanya apakah tidak ada orang lain yang mengurusi pemakaman, dia bilang kalau istrinya hanya ingin diurusi oleh dirinya.

Aku sedapat mungkin membantu pak Larry hari ini. Sampai kemudian istrinya dimakamkan. Hanya pak Larry dan aku yang ada di pemakaman itu.
Malamnya aku pulang dengan air mata berlinang-linang.

5 Desember 2003
Kejadian-kejadian belakangan ini membuat aku malas untuk beraktivitas. Kegiatan mengajar juga kujalani dengan separuh hati. Aku semakin mempertanyakan pola pikir dan pemahaman-pemahamanku sendiri. Rasanya berat sekali menanggung ini sendirian. Tidak ada seorangpun yang bisa ku ajak bicara. Kepada Rena, aku tahu aku tidak bisa membicarakan urusan seberat ini. Kepada David, aku tahu dia terlalu sibuk dengan berbagai urusan. Kepada Lizzy apalagi. Bisa-bisa aku menimbulkan masalah baru lagi. Aku tak tahu, nantinya jika Lizzy mengetahui hal ini, apa yang akan dia katakan atau perbuat.


8 Desember 2003
Tiga hari ini Lizzy tidak mau berbicara denganku. Menatap wajahku saja dia tidak mau. Aku paham bahwa dia pasti sudah tahu kejadian sebenarnya. Entah dari mana. Aku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Jadi aku memilih menulis email panjang yang menjelaskan alasanku kenapa tidak memberitahukan keadaan pak Larry dan almarhum istrinya, kepada Lizzy.



10 Desember 2003
Sudah ada 3 hari, tidak ada balasan dari Lizzy. Ia tetap tidak mau menatap wajahku saat kami berpapasan. Aku semakin bingung. Kini masalahku bertambah lagi. Aku kehilangan seorang teman baik. Semoga masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.


15 Desember 2003
Musim dingin ini membuat jiwa dan hatiku membeku. Saat ini aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa-apa. Walaupun ada kabar baik tentang royalti lagu ciptaanku, aku tetap merasa hampa sekali.

Walaupun aku merasa perbuatanku benar, aku menemukan kekeliruan-kekeliruan juga. Ternyata manusia memang tidak bisa lepas dari kesalahan. Sekuat apapun mencoba, manusia selalu jauh dari kesempurnaan.

Hanya cinta yang bisa membuat seseorang terlihat begitu sempurna. Segala kekurangan dirinya seakan hilang, jika kita mempunyai cinta terhadap dirinya. Apakah aku akan sanggup memiliki cinta ini? Cinta yang membuatku sanggup membutakan mata atas kesalahan dan kekurangan orang lain. Yang membuatku sanggup memberikan segalanya, bahkan jiwa ragaku.

Aku terlalu sibuk dengan mimpi-mimpi. Terlalu sibuk dengan cita-cita besar. Terlalu sibuk dengan segala ideologi dan filosofi tentang kebenaran. Sehingga kadang aku lupa.

Bahwa aku pun sungguh membutuhkan cinta.


17 Desember 2003
Salju turun. Indah sekali di sini. Hari ini aku ingin mengenang Soe Hok Gie. Kekerasan tekadnya, kelembutan hatinya, dan juga kepahlawanannya. Saat kecil aku sudah membaca bukunya. Sejak saat itu aku sangat terinspirasi untuk menjadi seperti dia. Aku memutuskan untuk menjadi aktivis pun karena
dia.

Walaupun memang penyebab utama pilihan hidupku ini adalah karena sebuah kejadian buruk saat aku masih kecil, Soe Hok Gie lah yang menginspirasiku untuk menjadi seperti ini. Dia juga yang membuatku ingin menulis buku harian.

Dunia butuh pahlawan-pahlawan seperti Soe Hok Gie. Manusia biasa yang penuh kelemahan, namun memiliki keberanian, tekad, dan ketulusan. Seandainya saja di Indonesia ada 10 orang seperti Soe Hok Gie, aku yakin Indonesia tidak akan seburuk sekarang.

Tanggal segini kalo di Indonesia, biasanya aku sudah mengunjungi gunung Semeru. Gunung tempat Soe Hok Gie meninggal. Begitu indahnya, dia meninggal di tempat tertinggi di pulau Jawa. Jika aku mati nanti, dimanakah aku akan mati. Seperti apakah kematianku nanti?

Aku tidak ingin kematian yang heroik. Aku hanya ingin mati muda. Seperti Soe Hok Gie. Muda, saat masih kuat, masih memiliki banyak sahabat, masih banyak orang yang perduli. Aku ingin saat aku mati nanti, aku hanya seorang diri. Karena kematian sebaiknya khidmat. Dan sangat personal.

Kalau dipikir-pikir, betapa indahnya kematian itu. Aku yakin kematian tidak semenakutkan yang diduga orang. Kematian adalah sama pentingnya dengan kelahiran. Saat seseorang mati, berarti ia telah menunaikan tugasnya sebagai manusia. Ia dijemput malaikat maut untuk bertemu dengan Tuhannya.

Seharusnya orang menunggu-nunggu kematiannya dengan gembira. Karena saat itulah ia bertemu dengan Tuhannya. Tapi memang manusia terlalu mencintai kehidupan. Aku pun sangat mencintai kehidupan. Tapi aku lebih mencintai kematian.

Entah kenapa. Aku hanya merasa muak dengan dunia yang sudah terlalu kotor ini. Aku memang bukan orang yang bersih dari dosa atau kesalahan. Tapi apakah naif jika aku menginginkan sebuah dunia yang damai?

Dunia dimana anak-anak dapat bermain dengan serigala dan ular. Di mana para pecinta tidak akan bersedih dikhianati kekasihnya. Dunia dimana tidak ada satu orang pun yang dirampas hak-haknya, di injak martabatnya, dan dilukai hatinya.
Dunia, oh dunia

20 Desember 2003
Keriuhan menjelang natal memang ramai sekali disini. Sepertinya tidak ada seorang pun yang bersedih menjelang natal seperti ini. Aku walaupun tidak ikut merayakan natal, turut juga merasakan kegembiraannya.

Jadi ingat masa-masa kecilku di Jayapura. Ramai sekali. Semua orang tertawa bahagia.


25 Desember 2003
Hari natal. Salju turun sangat lebat, tapi tidak menganggu indahnya hari ini. Aku tidak melakukan apa-apa sama sekali hari ini. Hanya tenggelam dalam balutan keramaian natal yang membungkus kesepianku.


28 Desember 2003
Tepat setahun penculikanku. Syukurlah aku bisa selamat. Aku tidak dendam kepada penculikpenculikku. Mereka hanya tentara yang mengerjakan tugas. Tetapi jika sampai tentara terlibat dengan hal-hal seperti ini, maka kekuasan orang yang ingin aku mati itu sungguh-sungguh luas.

Ia harus dijatuhkan. Bukan karena dendam atau kebencian. Tapi semata-mata karena keadilan. Dan jika tidak ada seorang pun yang menuntut keadilan, maka keadilan itu tidak akan pernah datang.

Aku harus membawa keadilan kepadanya.


1 Januari 2004
Hari ini adalah peringatan pergerakan Zapatista. Pasti melakukan upacara di hutan Chiapas. Seandainya aku tahu jalan kesana, aku pasti sudah berangkat. Aku ingin sekali bertemu dengan subcomandante Marcos lagi. Merasakan wibawanya, dan kehangatan persahabatannya.

Aku hanya baru bertemu sekali dengannya, tetapi rasanya sudah mengenalnya ratusan tahun.


2 Januari 2004
Lama tidak menghubungi Rena. Dia senang sekali saat aku menelponnya. Katanya dia sedang liburan di Malang bersama teman-temannya. Aku ingin sekali pergi ke Malang lagi. Dulu sering sekali aku kesana. Pergi ke gunung Arjuno, atau sekalian mampir ke Semeru. Atau sekedar menikmati air panas di
Cangar, dan makan jagung bakar di Payung. Satu lagi tempat favoritku adalah Bendungan Selorejo.

Dimana kita bisa duduk dipinggir danau dan menikmati ikan bakar segar. Saat aku menyebutkan tempat-tempat itu, Rena bilang bahwa dia sudah ke beberapa tempat. Asik juga rasanya liburan ke Malang.


5 Januari 2004
Dapat kabar dari Rena kalau Erika berada di Amerika. Aku kaget bercampur senang. Rena bilang kalau Erika sedang kuliah di salah satu Universitas di sini. Aku berencana mengunjungi kampus itu setelah
libur ini tiba.


10 Januari 2004
Beberapa hari ini aku latihan parkour terus. Suatu saat kepandaian ini pasti berguna. Jalanan dan bangunan yang licin bekas salju, membuat aku sedikit kesulitan untuk bergerak. Rasanya segar juga.
Apalagi salju sudah mulai mencair sepenuhnya.


12 Januari 2004
Aku mencari cari tahu tentang kota dimana Erika berada. Bagaimana transportasinya, penginapan dan lain-lain. Semoga aku bisa menemukan dia. Aku tidak mengerti, rasanya hati ini sangat tidak sabar.

Apakah karena aku kesepian disini dan butuh seorang teman. Ataukah memang ada perasaan tertentu di hatiku. Aku sendiri tidak tahu.
Mungkin nanti jika bertemu Erika, aku akan menemukan jawabannya.

20 Januari 2004
Semua persiapan sudah kulakukan. Aku juga sudah mengatur ulang jadwal mengajar. Kapan pun aku bisa berangkat.


25 Januari 2004
Aku tiba di kota ini. Kota tempat Erika berada. Indah sekali kotanya. Sejuk dan nyaman. Apa mungkin karena hatiku sendiri yang merasa hangat. Entahlah.

Setelah menemukan penginapan dan meletakkan barang-barangku, aku segera menuju ke kampusnya. Aku memang sengaja memilih penginapan yang dekat dengan kampus supaya aku bisa berjalan kaki dengan bebas.

Kampusnya lumayan bagus, tetapi sangat luas. Letak gedung-gedungnya agak berjauhan sehingga cukup merepotkan juga kalau mau keliling-keliling.


27 Januari 2004
Aku sudah berhari-hari mencari kemana-mana, tapi bayangannya tidak muncul juga. Semoga aku menemukannya. Aku tidak akan pulang sebelum menemukannya

31 Januari 2004
Akhirnya....
Aku menemukannya...
Aku menemukan cinta....